Selasa, 27 Desember 2011

Kejawen dalam Masyarakat Jawa

A.     Latar Belakang

Budaya Jawa sesungguhnya merupakan sebuah kajian tentang peradaban sejarah manusia yang cukup rumit dan penuh misteri. Karena sepanjang sejarah manusia Jawa begitu luas dan komplek tetang tatanan sistem kebudayaannya yang disebabkan Perjalanan masyarakat Jawa begitu panjang dengan berbagai sistem budaya yang turut melingkupinya.
Sistem berpikir Jawa menurut dawami yaitu, suka berpikir tentang mitos dan hal-hal yang berbau mistis. Segala perilaku orang Jawa, seringkali memang sulit lepas dari aspek kepercayaan pada pokok permasalahan tertentu. Itulah sebab tertentu sistem berpikir mistis akan selalu mendominasi perilaku hidup orang Jawa. Orang Jawa lebih percaya kepada cerita-cerita
dan dongeng-dongeng yang bersifat sakral, dari pada berpikir eksperimental. Dan sistem berpikir yang semacam itu dilestarikan secara turun-menurun di kalangan masyarakat Jawa sampai menjadi foklor Jawa.
Dari kepercayaan terhadap hal-hal yang mistik tersebut, kemudian tumbuhlah suatu kepercayaan jawa yang disebut kejawen. Kejawen yang berkembang selalu mendasari setiap gerak laku maupun kejadian yang ada dalam kehidupan masyarakat jawa.
Dalam karya tulis ini, penulis memaparkan ha-hal yang mendasari pola kehidupan masyarakat jawa yang selalu beriringan dengan konsep pemikiran kejawen serta proses sinkretisasi jawa dengan Islam yang banyak terdapat kesamaan dan juga makna dari simbol-simbol dari tradisi jawa yang telah lama dimiliki oleh masyarakat jawa.

B.     Rumusan Masalah
Dalam karya tulis ini, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:

1.      Bagaimana budaya masyarakat Jawa?
2.      Apa saja konsep pemikiran kejawen?
3.      Bagaimana hubungan kejawen dengan Islam?
4.      Apa saja makna dari simbolisme kejawen?

C.     Tujuan Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini bertujuan:
1.      Memberikan pemahaman dalam memaknai budaya masyarakat Jawa.
2.      Memahami konsep pemikiran kejawen.
3.      Untuk memberikan penjelasan tentang hubungan antara kejawen dan Islam.
4.      Memberikan pengetahuan tentang makna dari simbol-simbol kejawen.

D.    Metode Penelitian
Adapun metode yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian ini adalah kajian pustaka yaitu telaah yang dilaksanakan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan bahan-bahan pustaka. Karya ilmiah ini beriskan suatu topik yang didalamnya memuat gagasan, yang didukung oleh data yang diperoleh dari sumber pustaka.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Budaya Masyarakat Jawa
Masayarakat Jawa dapat di golongkan menjadi dua kriteria, yaitu masyarakat Jawa berdasarkan etnis dan masyarakat berdasarkan letak geografis. Namun pembahasan tentang budaya Jawa ini lebih bersifat keseluruhan, karena di manapun orang Jawa berada maka mereka akan sulit lepas dari berpikir Jawa.[1]
Asal usul masyarakat Jawa sendiri berdasarkan keilmuan sejarah sarjana barat akan sulit sekali ditemukan dengan secara pasti dan kredibel. Namun jejak perjalanan masyarakat Jawa akan banyak di temui dengan cerita-cerita yang secara turun temurun yang di bungkus dengan mistis dan kesakralan tertentu. Hal inilah yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa, walaupun bagi keilmuan barat hal tersebut di bantah, namun keunikan tersebut adalah sebuah kebenaran bagi masyarakat Jawa dan di  pertahankan sampai zaman modern ini.
Bila berbicara tentang budaya Jawa maka harus diketahui terlebih dahulu dengan yang dimaksud dengan budaya. Budaya adalah semua tindakan manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.[2] Koentjoroningrat menyatakan bahwa unsur-unsur universal sebuah kebudayaan meliputi tujuh sistem, yaitu sistem religi atau keagamaan, sistem dan organisasi masyarakat, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sitem teknologi dan peralatan. Semua sistem kebudayaan tersebut terdapat dalam masyarakat dari tingkatan primitif hingga masayarakat dalam tingkatan modern, dan sistem budaya tersebut mengalami dinamika sebagai akibat pergaulan antar masyarakat pendukungnya dengan kebudayaan lain.[3]
Masyarakat Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya, budaya Jawa dapat dibagi menjadi dua, yaitu budaya lahir dan budaya batin.[4] Budaya lahir adalah segala hal yang terkait dengan kedudukan masyarakat Jawa sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hal ini budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan mudah diindetifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai manifestasi nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya. Sedangkan budaya batin adalah segala sesuatu yang terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat supranatural dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang tidak dapat diempiriskan dan diobjektifkan. 
Dalam sistem budaya Jawa, terdapat tuntutan yang mengharuskan masyarakat Jawa untuk menjaga harmonitas dalam kehidupan mereka. Karena dengan hidup harmoni masyarakat Jawa akan dapat melakukan segala hal yang membuat mereka bahagia dalam kehidupan mereka.[5] Dengan demikian masayarakat Jawa cenderung meminilmalisir segala bentuk kepentingan-kepentingan yang bersifat individu dan lebih mementingkan sistem budaya yang bersifat komunal atau kebersamaan demi terciptanya harmonitas sosial. Hal ini seperti peribahasa orang Jawa rame ing gawe sepi ing pamrih,mangan ora mangan sing penting kumpul, dan lain sebagainya. 
Selain masyarakat Jawa menjaga eksistensi diri dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Jawa juga memiliki orientasi utama dalam membangun seorang insan yang berbudi luhur. Untuk mencapai derajat yang berbudi luhur maka di butuhkan berbagai macam bentuk pengendalian diri, seperti pentingnya seseorang menghindari tindakan srei, drengki, panas aten, wedi isin, serta pentignya memiliki sikap mental (attitude) eling lan waspada dengan di landasi kesabaran. Semua hal itu perlu dilakukan bagi masyarakat Jawa untuk mencapai kasumpurnaning urip (kesempurnaan hidup) sebagai manifestasi insan budi luhur yang di idam-idamkan masyarakat Jawa.[6] Maka dari itu masyarakat Jawa dituntut sikap dahwen (suka mencela orang lain), open (pamrih pribadi) dan jail (suka membuat susah orang lain) yang semua itu harus dilandasi sikap ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tapi ya jangan begitu).
Dalam hubungan sikap hidup masyarakat Jawa dengan statusnya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Manusia Jawa memiliki sikap mental yang menyatakan kuatnya hubungan antara dirinya dengan Tuhan sebagai sang khalik. Dalam pandangan Jawa, Tuhan atau disebut Gusti Allah atau pangeran[7] diidentifikasikan sebagai sang penentu, pemberi pertolongan dan tempat berserah diri. Selain itu orang Jawa yang memiliki hidup falsafatik, yang mengakui bahwa kehidupannya di dunia ini pada hakikatnya adalah sebuah jeda waktu untuk kembali lagi kepada Tuhan. Sesuai dengan keyakinan tersebut maka masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa kehidupan ini dinamis (cakra manggilingan atau owah gingsir) sesuai dengan kehendak Tuhan sebagai sang penentu. Sikap yang bersifat falsafatik tersebut tampak sekali pada kuatnya kesadaran masyarakat Jawa dalam keyakinan bahwa hidup hanya sekedar menjalani kehendak Tuhan seperti yang dinyatakan oleh orang Jawa, urip mung sadremo nglakoni (hidup itu hanya sekedar menjalani) dan gumantung karsane pangeran (tergantung kehendaknya Tuhan), hal ini menunjukan bahwa nasib manusia Jawa dalam kehidupan ini sudah ditentukan oleh Tuhan sejak ia lahir hingga matinya.[8]
Sedangkan dalam prinsip etika, masyarakat Jawa menitik beratkan kepada pentingnya menghindari konflik dan menciptakan kerukunan dalam kehidupannya. Kedua sikap tersebut harus dilakukan dengan dilandasi sikap hormat yang diabdikan pada terciptanya hubungan sosial yang harmoni. Dengan demikian, maka kerukunan selalu di usahakan dalam setiap situasi guna menciptakan kehidupan yang selaras, tenang dan tentram. Kondisi tersebut menjadi tanggung Jawab moral bagi komunitas sebuah masyarakat Jawa.[9]
Kehidupan rukun masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai ajaran pokok dalam budaya Jawa. Untuk memiliki jiwa rukun, maka seorang masyarakat Jawa harus memiliki semangat  hidup yang dilandasi tepa slira dan ojo dumeh.Tepa slira adalah sikap hidup yang mengukur perlakuan dirinya terhadap orang lain, diukur dengan perlakuan pada dirinya sendiri. Sikap tepa slira ini sendiri ditopang dengan sikap ojo dumeh atau jangan sombong, karena kehidupan ini menurut masayakat Jawa selalu berputar (owah gingsir) sesuai dengan roda kehidupan yang telah ditentukan Tuhan (cakra manggilingan).[10]

B.     Konsep Pemikiran Kejawen
Pemikiran kejawen tentulah tidak bisa lepas dari unsur mistik, kebatinan maupun kepercayaan. Akan tetapi yang khas Indonesia menurut Wongsonegoro ialah kebatinan yaitu merupakan bentuk kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan yang dalam praktiknya dapat berupa tasawuf, teosofi ataupun mistik.[11]
Dalam kehidupan masyarakat jawa yang lebih mengutamakan agama laku, telah mempunyai konsep kejawen terhadap ketuhanan, sesama makhluk dan terhadap alam yang sangat luhur, yaitu:
1.      Sangkan Paraning Dumadi
Konsep kejawen tersebut mempunyai arti “asal dan tujuan hidup”. Konsep ini memberikan gambaran kepada manusia bahwa ia berasal dari Allah dan pada saatnya kelak akan kembali kepada-Nya.[12] Dalam mendiskripsikan konsep ini, Sunan Kalijaga dalam tembang dhandhanggula memberikan pesan mistik bahwa di dunia ini tidaklah lama, ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera kembali ke rumah asalnya tadi, karena itu jangan sampai ragu-ragu terhadap asal-usulnya agar tidak sampai salah jalan. Beliau juga menunjukkan bahwa hidup di dunia ini hanyalah sekedar mampir ngombe karena kelak kita akan kembali kepada Tuhan.
Sangkan paraning dumadi sendiri merupakan dua susunan kalimat yaitu sangkaning dumadi yang mempunyai pemahaman hanya karena kehendak Tuhan jualah dengan melalui proses dan prosedurNya, maka terjelmalah manusia ke dunia yang merupakan perpaduan antara roh dan jasad. Sedangkan paraning dumadi berarti bahwa jalan hidup kita pada dasarnya telah ditentukan oleh Tuhan dan kita hanya tinggal menjalani saja dengan penuh kepasrahan, akan tetapi sebagai kodrat manusia hidup, manusia tetap dituntut untuk terus berusaha dan tidak pasif tetapi harus selalu aktif.[13]
Oleh karena itu seseorang dalam menjalani kehidupan tidak boleh terlena bahkan lupa kepada Sang Pencipta, sehingga diperlu diketahui konsep jawa yang lain seperti sopo ingsung, ojo dumeh, tepa sliro, eling lan waspada dan bisa rumangsa agar manusia tidak tersesat dan selamat dari kehidupan maupun di akhirat kelak, karena menurut keyakinan orang jawa bahwa sekecil apapun perbuatan yang telah diperbuat pastilah aka ada balasannya.Disini jelas bahwa Tuhan adalah tumpuhan atau sandaran sangkan paraning dumadi.[14]

2.      Manunggaling Kawula Gusti
Konsep manunggaling kawula gusti ini tentunya tidak bisa terlepas dari Syekh Siti Jenar. Bagaimana ketika awal kemunculannnya sangat kontroversial, padahal di dunia Arab telah ada lebih dahulu dengan nama wahdatul wujud.
Menurut Ki Kusumowicitro menggambarkan bahwa konsep ini   akan menciptakan ketenangan batin karena ada titik temu yang harmoni antara manusia dengan Tuhan.[15]Karena pada dasarnya manunggaling kawula gusti adalah merupakan tanggung jawab pribadi untuk melaksanakan hidup yang lebih baik. Bila ia melakukan perbuatan yang jelak maka hati kecilnya akan memperingatkan terhadap kesalahan tersebut dan juga dalam menjalani kehidupannya akan selalu bersyukur dan menerima apa yang telah menjadi kehendakNya, sehingga akan bisa memunculkan rasa bisa rumangsa lan bisa ngrumangsani. Dengan menyatunya rasa Tuhan dengan manusia yang taat, maka terbukalah mata batin yang bisa mengetahui apa yang dikehendaki oleh Tuhan.
Konsep tentang manunggaling kawula gusti dalam masyarakat jawa dapat dicapai jika manusia telah memahami akan sangkan paraning dumadi.[16] Kadang pengertian manunggaling kawula gusti dipahami bahwa manusia harus sama dengan tuhan, akan tetapi juga ada yang berpendapat bahwa itu tidak mungkin terjadi karena antara manusia dengan Tuhan tetap berbeda dikarenakan Tuhan Maha Esa dan manusia tidak abadi.

3.      Memayu Hayuning Bawana
Manusia disamping sebagai makhluk individu, juga mempunyai tanggung jawab sosial. Dalam masyarakat Jawa hal ini dapat diwujudkan melalui konsep memayu hayuning bawana yaitu watak dan perbuatan yang senantiasa mewujudkan dunia selamat, sejahtera dan bahagia, karena ketentraman dan kedamaian adalah dasar kemuliaan hidup masyarakat jawa.[17]
Untuk mewujudkan kecantikan dunia tersebut, terdapat tiga hubungan yang pelaksanaannya harus dilakukan secara bersama-sama oleh setiap manusia yaitu :[18]
a.       Hubungan manusia dengan manusia
b.      Hubungan manusia dengan alam semesta
c.       Hubungan manusia dengan Tuhan
Konsep ini merupakan dasar dalam pembinaan budi pekerti luhur karena didalamnya terkandung suatu sari dari hakikat kehidupan dan untuk apa manusia diciptakan. Oleh karena itu wajar jika untuk mewujudkan keseimbangan dunia dan menjaganya dimulailah dari diri sendiri dan lingkungan yang ada di sekitar kita bertempat tinggal.

C.     Hubungan Kejawen dengan Islam
Kebudayaan adalah hasil upaya manusia di dalam mengolah lingkungannya demi keselamatan dan kesejahteraannya. Orang jawa membentuk jati diri kebudayaannya sejak asal mula adanya orang Jawa itu sendiri. Kebudayaan jawa masa kini adalah warisan sejarah masa lalu yang berkembang seiring perkembangan manusia. Fosil-fosil yang ditemukanpun menunjukkan bahwa kebudayaan jawa telah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.[19]
Islam datang ke Jawa sekitar abad ke-13 M yang dibawa oleh pedagang dari Gujarat.[20] Karena ada kemiripan konsep tasawuf dalam Islam dengan kejawen yang mengutakan laku atau rasa dalam masyarakat Jawa sehingga terjadi proses sinkretisme antara dua kebudayaan besar tersebut. Sebutan sikretisme mengandung semacam ironi, bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai dalam wujudnya yang asli, akan tetapi telah tercampur oleh kebudayaan lokal seperti Islam Kejawen yaitu telah menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni di daerah asalnya yaitu Timur Tengah.[21]
Kemunculan Islam Jawa ini diawali oleh paham mistik kejawen, karena banyak bermunculan aliran kebatinan di Jawa. Hal ini juga tidak terlepas dari orang-orang jawa yang meskipun memeluk agama Islam, mereka tidak mau melepaskan budaya aslinya yaitu kejawen.[22] Pada masa awal masuknya Islam di Jawa, agama asli jawa yang berupa kebatinan dan mistik dianggap syirik. Apalagi dalam tradisi masyarakat jawa adalah budaya selametan, membakar kemenyan dan ritual pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi masyarakat asli jawa tidaklah mau dikatakan bahwa perbuatan yang telah mereka lakukan dan warisan dari leluhur mereka tersebut dikatakan syirik. Oleh karena itu, Walisongo mencoba memanfaatkan tradisi yang telah ada yang dikombinasikan oleh budaya Islam dalam usaha penyebaran agama Islam salah satunya melalui tembang Ilir-ilir yang merupakan produk asli tembang jawa kemudian diberi unsur mistik religiusitas Islam agar mampu mengetuk hati masyarakat jawa.
Dilihat dari aspek tradisi, perpaduan Islam jawa juga sangat melekat dalam kehidupan masyarakat jawa seperti budaya 1 Suro, dimana di keraton Jawa diperingati dengan acara kirab pusaka atau pemberian sesajen sedangkan oleh Islam diperingati dengan puasa, bahkan telah ada yang memadukan dalam memperingatinya seperti membaca tahli, kenduri maupun nyekar. Hal ini menunjukkan bahwa ada titik temu yang sehat antara Islam dengan Jawa.[23]
Perpaduan Islam dengan budaya lokal jawa juga dapat dilihat dari aspek historis dan antropologis, seperti yang terjadi di wilayah Mataram, Pati dan Tuban, dimana wilayah tersebut merupakan sentra penyebaran agama Islam yang ada di Jawa yang diajarkan oleh al-Mutamakkin. Ajaran tersebut ia kemas manis melalui paham yang telah ada yaitu mistik kejawen yang dibebarkan melalui paham neo-sufisme Jawa. Oleh karena itu konsep sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula gusti tidak bisa lepas dari sejarah Islam Kejawen.[24]

D.    Simbolisme Kejawen
Dalam memahami Kejawen memerlukan pemahaman yang mendalam karena didalamnya banyak terdapat simbol-simbol spiritual yang penuh makna sehingga akan didapatkan pemahaman yang komprehensif dan tidak terjadi salah arti. Ungkapan yang bersifat mistik kejawen tersebut dapat diwujudkan dalam teks-teks, mantra-mantra maupun doa-doa serta seni tari yang telah ada dalam masyarakat jawa.Dalam karya ilmiah ini akan dibahas beberapa dari simbolisme kejawen tersebut.
1.      Selametan
Diantara kepercayaan dalam kehidupan agama orang Jawa adalah tokoh-tokoh agama yang dikeramatkan.[25] Hal ini tidak lepas dari budaya kepercayaan asli masyarakat Jawa kuno yang menganut agama animisme dan dinamisme, yang mengkeramatkan suatu tokoh yang dianggap mampu menghubungkan diri mereka dengan Tuhan (Gusti Allah atau Pangeran) baik tokoh tersebut masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.[26]
Sebagai bagian dari pemahaman terhadap orang keramat yang sudah meninggal, masyarakat Jawa meyakini bahwa ada roh halus yang berkeliaran disekitar tempat tinggalnya semula atau arwah leluhur. Roh nenek moyang dianggap masih bisa berhubungan dengan dunia material ini untuk memberi nasehat ataupun menghubungkan manusia di dunia meterial ini dengan Tuhan yang di alam ghaib.
Makam nenek moyang adalah suatu tempat komunikasi dengan  dunia arwah dengan dunia material, maka dari itu tempat tersebut sakral dan dihormati. Komunikasi dengan arwah nenek moyang dilakukan dengan upacara atau ritual tertentu semisal nyekar dengan membakar kemenyan, bersemedi dan slametan atau wilujengan.[27] Hal ini bagi masyarakat Jawa merupakan unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut agama jawi pada khususnya.
Adapun selametan merupakan salah satu upacara keagamaan yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial bagi mereka yang ikut didalam ritual tersebut.[28]Dalam masyarakat jawa selametan diperingati ketika memohon hajat pada saat-saat tertentu yang dianggap diluar kemampuan manusia seperti kelahiran, sihir maupun mendirikan rumah supaya apa yang diinginkan dapat terwujud.
Budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap tokoh keramat, roh dan slametan tersebut masih tetap ada dan berkembang pada zaman modern ini di kalangan masyarakat Jawa meski sudah tidak menganut agama jawi. Hanya bentuk eksistensi dan ritualnya sedikit berubah namun esensinya masihlah tetap sama dengan yang masyarakat Jawa kuno.

2.      Wayang
Penyebaran Islam Jawa tidaklah mungkin lepas dari peran para wali yang menggunakan media wayang kulit dalam penyampaiannya kepada masyarakat yang dikemas dengan sangat menarik sehingga mudah diterima oleh masyarakat jawa.
Dalam pandangan kejawen, hubungan Tuhan dengan manusia tergambar dalam dunia pewayangan yaitu hubungan antara dhalang-wayang-kelir. Dhalang merupakan wujud mutlak, dan wayang merupakan wujud roh ilapi sedangkan kelir merupakan esensi yang pasti. Padangan ini mengisyaratkan bahwa Tuhan ibarat dhalang yang menggerakkan wayang yaitu manusia. Manusia sebagai pancaran Tuhan yang sama-sama berada dalam alam semesta (kelir).[29]
Dalam salah satu cerita pewayangan yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga melalui tokoh Yudistira terdapat pusaka yang ampuh yaitu jimat kalimasada. Kalimasada dalam dunia Islam yaitu kalimat syahadat yang menuntun pada tingkat kesucian. Oleh karena itu Yudistira sering dilambangkan memiliki darah putih yang berarti suci dan sabar. Dalam perjalanannya Yudistira mempunyai empat saudara yaitu Werkudara, Janaka, Nakula dan Sadewa yang merupakan gambaran dari Salat, Zakat, Puasa dan Haji yang selanjutnya Pandhawa tersebut merupakan rukun Islam. Oleh karena kelihaian Sunan Kalijaga dalam mengolah tokoh-tokoh Pandawa yang tidak dapat dipisahkan tersebut menjadi simbol rukun Islam sehingga Islam mudah diterima dalam masyarakat jawa.[30]

3.      Semedi
Salah satu ajaran kejawen yang pokok adalah agar selalu eling kepada sang pencipta. Untuk mewujudkan rasa eling tersebut perlu dilakukan ritual mistik yang disebut semedi, dengan harap agar diberi kekuatan lahir dan batin sehingga selamat hidupnya.[31]
Dalam melakukan semedi lebih mengandalkan rasa pengrasa karena mereka sedang berhadapan dengan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa badan manusia itu kotor sehingga dalam pelaksanaan ritualnya harus dibersihkan melalui ening (hening) dan kejernihan nalar. Bagi para pelaku, pada saat semedi harus menghadap ke timur karena merupakan simbol arah purwa yaitu permulaan hidup. Adapun dalam bahasa jawa timur adalah wetan yang bermakna wewetan urip yang bermakna pula semedi menghadap timur juga memperingati saat kelahiran.

4.      Sastra dan Syair
Sastra ataupun syair yang berkembang dalam masyarakat jawa seperti serat Centini maupun serat Asmaralaya yang menceritakan tentang kematian yang sempurna serta teks spiritual (syair) dalam Jawa mempunyai makna simbolisme tertentu. Simbol-simbol budaya ini digunakan untuk mengekspresikan gagasan, emosi dan pemikiran yang bersifat transendental.[32] Kebanyakan simbol tersebut lebih bersifat spiritual yaitu bagaimana mengatur hubungan yang vertikal kepada Tuhannya. Salah satunya terdeskripsikan dalam syair Ilir-ilir.
Ilir-ilir
Ilir-ilir tandure wus sumilir
Dak ijo royo-royo
Daksengguh penganten anyar
Cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro dodotiro kumitir bedhahing pinggir
Domana jlumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumpung gedhe rembulane
Ya suraka surak hore[33]

Dalam syair Ilir-ilir tersebut diyakini mempunyai gambaran terhadap langkah-langkah perjalanan hidup manusia. Diceritakan bahwa keyakinan yang terdapat dalam manusia berkembang terus seperti pengantin baru yang membutuhkan bimbingan (cah angon) dari para penguasa agar bisa mengendalikan hawa nafsunya (panca maya dalam konsep jawa dan rukun Islam dan konsep Islam) yang disimbolkan dalam blimbing supaya bisa bersih dari dosa bahkan menjadi manusia yang suci. Oleh karena itu manusia harus menambal dodot dari perbuatan manusia agar memperoleh balasan amal perbuatan yang baik di akhirat kelak[34]




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Mempelajari kehidupan masyarakat jawa memang sangat rumit. Tidak hanya dibutuhkan sekedar pengetahuan tentang pola perilaku bermasyaratnya akan tetapi juga olah rasa yang dimiliki masyarakat jawa. Hal ini terwujud didalam konsep pemikiran kejawen seperti Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula GustidanMemayu Hayuning Bawana yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat jawa yang masih mengagungkan kejawen.
Konsep-konsep tersebut tentulah juga tidak terlepas dari hasil sikretisme budaya antara jawa dengan agama Islam yang disebarkan oleh walisanga. Dalam penyebarannya pun penuh dengan simbolik kejawen yang terkenal yaitu melalui metode pewayangan yang isi ceritanya diambil dari kebudayaan cerita jawa yang dikombinasikan dengan ajaran-ajaran Islam dan melalui syair tembang Ilir-ilir.

B.     Saran
Tentunya dalam penulisan karya tulis ini masih sangat banyak kekurangan. Adapun yang menjadi kendala dalam penulisan ini adalah ketika memahami kosa kata jawa yang masih asing bagi penulis yang kemudian mencoba untuk menggali makna dari setiap dawuh yang mendasari gerak-gerik perilaku masyarakat jawa. Akan tetapi penulis tentu saja sangat berterima kasih kepada panitia, karena dengan adanya lomba karya tulis ilmiah ini dapat memotivasi penulis untuk lebih produktif dan lebih rajin membaca buku serta mengkritisinya.
DAFTAR PUSTAKA


Damami, Muhammad, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta, LESFI, 2002.

Endaswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Yogyakarta, Narasi, 2003.

------------------------, Falsafah Hidup Jawa, Yogykarta: Cakrawala, 2010.

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta; Pustaka Jaya, 1989.

Hadisutrisno, Budiono, Islam Kejawen, Yogyakarta, Eule Book, 2009

Kertapradja, Kamil,Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, Jakarta: Masagung, 1985.

Pranoto, Tjaroko HP Teguh, Spiritualitas Kejawen, Yogyakarta, Kuntul Press, 2007.

Prayogi, Dhanu Priyo, dkk, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, Yogyakarta, Narasi, 2003.

Roqib, Moh, Harmoni Dalam Budaya Jawa, Purwokerto, Stain Purwokerto Press, 2007.

Santoso, Iman Budhi,  Nasihat Hidup Orang Jawa, Jogjakarta: DIVA Press, 2010.





 Tulisan tentang sosial

KEJAWEN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA

KARYA TULIS
 Disusun Untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah(LKTI)
Tingkat Mahasiswa Jurusan  Ushuluddin STAIN Kediri Tahun 2011



 










Disusun Oleh :
ABDUL MUJIB
NIM. 903101709


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2011




DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I.        Riwayat Pribadi
Nama                                    : Abdul Mujib
Tempat/tanggal lahir     : Jombang, 14 Nopember 1987
Alamat                                 : Jalan Hayam Wuruk 2ACandimulyo - Jombang
Jenis kelamin                    : Laki-laki
Agama                                  :Islam
Kewarganegaraan           :Indonesia
Status                                   : Belum menikah
Email                                     : mujiib_87@yahoo.com/ HP. 085731597762
II.      Riwayat pendidikan
1.       MI Nidlomiyah Jombang Tahun 1999.
2.       MTsN Denanyar Jombang Tahun 2002.
3.       MAN Denanyar Jombang Tahun 2005.
4.       STAIN Kediri masih sebagai mahasiswa semester 5 (tingkat III)

III.    Riwayat keluarga
1.       Riwayat  ayah
Nama                            : Arjamin
Alamat                         :Jalan Hayam Wuruk 2A Candimulyo - Jombang
Pekerjaan                   : Wiraswasta
2.       Riwayat ibu
Nama                            : Sri Widyawati
Alamat                         :Jalan Hayam Wuruk 2A Candimulyo - Jombang
Pekerjaan                   : Wiraswasta
Kediri, 5 Desember 2011
Hormat kami,


Abdul Mujib
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama                                    : Abdul Mujib
Tempat/tanggal lahir     : Jombang, 14 Nopember 1987
Alamat                                 : Jalan Hayam Wuruk 2A Candimulyo - Jombang
Jenis kelamin                    : Laki-laki
Agama                                  : Islam
Kewarganegaraan           : Indonesia
Status                                   : Belum menikah
PT/ Jurusan/ Prodi: STAIN Kediri/ Ushuluddin/ Perbandingan Agama
NIM                                       : 9031 002 09
Email                                     : mujiib_87@yahoo.com / HP. 085731597762

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis yang akan saya ikutkan pada Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tahun 2011 yang diadakan oleh Jurusan Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri yang berjudulKEJAWEN DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWAbenar-benar merupakan karya tulis saya pribadi dan belum pernah saya ikutkan dalam kompetisi atau lomba, baik dalam tingkatan Lokal, Nasional, maupun yang lainnya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh dengan kesadaran. Namun, jika di kemudian hari ternyata terdapat suatu kesalahan serta terdapat pihak yang menuntut, maka saya siap untuk mempertanggungjawabkannya.

 Kediri, 5 Desember 2011
Yang membuat pernyataan,



Abdul Mujib


[1]Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta, LESFI, 2002, 11-12. 
[2] Dhanu Priyo Prabowo. dkk, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, Yogyakarta, Narasi, 2003, 24.
[3]Muhammad Damami, Makna Agama....…, 7-8.
[4] Dhanu Priyo Prayogi, Pengaruh Islam.., 24-25.
[5] Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa, Purwokerto, Stain Purwokerto Press, 2007, 227.
[6] Dhanu Priyo Prayogi, Pengaruh Islam..…,26.
[7] Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta, Narasi, 2003), 8.
[8] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, (Yogyakarta, Eule Book, 2009), 24-25.
[9] Moh. Roqib, Harmoni dalam Budaya...…, 235-236.
[10] Dhanu Priyo Prayogi, Pengaruh Islam…, 33.
[11] Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen………., 8.
[12] Iman Budhi Santoso, Nasihat Hidup Orang Jawa, (Jogjakarta: DIVA Press, 2010), 80.
[13] Tjaroko HP Teguh Pranoto, Spiritualitas Kejawen, (Yogyakarta, Kuntul Press, 2007), 109-110.
[14] Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen ………, 44.
[15] Ibid, 46.
[16] Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa, (Yogykarta: Cakrawala, 2010), 242.
[17] Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, ……. 50.
[18] Tjaroko HP Teguh Pranoto, Spiritualitas Kejawen,……. 68.
[19] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, ……., 169.
[20] Kamil Kertapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Masagung, 1985),  33
[21] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, ……., 170.
[22] Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa, …… 78.
[23] Ibid, 83.
[24] Ibid, 80.
[25] Moh. Roqib, ibid…, 53.
[26] Ibid…,54-55.
[27] Budiono Hadisutrisno, ibid…,62.
[28] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta; Pustaka Jaya, 1989), 13
[29] Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, ……. 93.
[30] Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa, …… 92
[31] Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, ……. 238
[32] Ibid, 223
[33] Ibid, 224
[34] Ibid, 224 (lihat juga Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa, …… 79)

0 komentar:

Posting Komentar